Minggu, 16 Oktober 2016

Mengenai cerita di balik sosok naga yang berperan tokoh di dalam kitab pustaka ini.


Naga adalah salah satu dari kumpulan makhluk mitologi yang berasal dari daratan di seluruh benua di bumi ini, mulai dari timur hingga barat. Ada naga dari dunia orang barat yang digambarkan sebagai monster haus darah yang jahat dan sering menjadi sasaran perburuan para ksatria mitologi. Naga Tionghoa dikenal sebagai makhluk mitologi yang bernilai sakral dan superstisius, terbedakan dari naga orang barat. Naga Tionghoa juga menjadi salah satu dari 12 simbol zodiak atau Shio dalam sistem horoskop dan astrologi orang Tionghoa.

Naga Tionghoa jika berwujud dewata seringkali dimunculkan sebagai sosok rajanaga penguasa samudera dalam kepercayaan orang Tionghoa. Dalam kontekstual Buddhisme, naga sendiri adalah makhluk supernatural mirip ular yang seringkali ditampilkan dalam kitab – kitab Sutra Buddha sebagai hadirin dalam khotbah ajaran yang diselenggarakan oleh sang Buddha. Sosok naga dan juga rajanaga untuk kontekstual Buddhisme berbeda dengan kontekstual kepercayaan orang Tionghoa, sebagaimana para rajanaga berasal dari tempat dimana sang Buddha dan Buddhisme pertama kalinya muncul ke dunia, yaitu India.

Berbicara soal naga, khususnya naga Tionghoa adalah sebuah hal yang sangat sensitif dalam kehidupan saya. Bagi saya, naga Tionghoa memiliki banyak kesan yang intim dalam kehidupan pribadi saya. Saya tentunya tidak bershio naga hanya untuk menulis kitab pustaka ini dan mengupas habis – habisan soal imajinasi saya tentang naga Tionghoa dan naga lainnya dari Bali. Saya hanya bershio kambing dan tentunya kambing sangat sederhana sekaligus tak ada apa – apanya dibandingkan shio lainnya. Namun saya seringkali gemar membayangkan diri saya sebagai naga Tionghoa dengan segala ekspresinya yang keren dan berkilauan. Itulah yang menjadi sebuah gagasan terciptanya kitab pustaka ini. Saya juga menulis buku – buku novel lainnya yang menjadikan naga Tionghoa sebagai fitur khas dalam alur ceritanya.

Namun kitab pustaka inilah yang merupakan karya terbesar saya di atas dari semuanya. Saya menggunakan karakter naga sebagai model personifikasi para pelaku dalam kitab pustaka ini. Alasan yang jelas dan berkata – kata tidak bisa saya ungkapkan karena sebenarnya ide ini datang dengan cara yang abstrak dan tak terungkapkan. Saya berusaha untuk tidak sekalipun mengaitkan hal ini dengan peristiwa – peristiwa gelap yang pernah terjadi dalam keluarga saya, yang mana itu berhubungan dengan naga. Namun satu hal yang mungkin bisa saya ungkapkan adalah jika naga itu memiliki simbol supremasi yang sangat besar, baik itu yang bernilai positif atau negatif. Jika saya bisa mengangkat hanya untuk sisi positifnya saja, maka saya bisa menggunakannya sebagai roda untuk memutar ajaran Dharma yang pernah saya dalami dalam bentuk cerita – cerita sastra.

Hal itu juga berlaku dalam kehidupan manusia khususnya orang Tionghoa di manapun itu, yang mana orang – orang yang bershio naga cenderung dinilai dan dianggap memiliki potensi lahir batin yang lebih unggul dari orang bershio lainnya. Mereka yang bershio naga juga cenderung lebih dominan dalam banyak hal, khususnya yang sudah dibekali dengan nasib baik sejak lahir. Orang bershio kambing seperti saya tidaklah notabene, meskipun mereka mungkin jauh lebih berpotensi. Namun itu bukanlah sebuah hal yang menggusarkan, karena itu hanyalah superstisi kaum Tionghoa seperti saya. Saya percaya dengan diri saya dan tak pernah meragukan kekuatan batiniah saya yang mungkin tampak membodohi orang - orang.

Ini mungkin terdengar agak konyol, namun ini juga adalah sebuah kejujuran yang harus saya beberkan. Saya memang memiliki kekaguman yang besar terhadap orang – orang bershio naga di sekitar saya, khususnya sejak masa sekolah dulu. Tapi sayangnya saya selalu menemukan orang – orang itu banyakan tidak seperti yang diyakini dalam superstisi nan kolot. Banyakan dari mereka bahkan lebih susah dan menderita hidupnya dari saya. Banyakan juga bukan orang yang baik – baik alias orang yang jahat. Namun saya juga melihat bagaimana ketegaran mereka dalam menghadapi hidup. Mungkin ungkapan tentang sesuatu yang besar pasti didampingi dengan resiko yang besar itu memang benar. Bukankah simbol naga merupakan simbol yang terbesar dan paling diperhitungkan dalam superstisi orang Tionghoa?


Sebenarnya hanya itulah yang bisa saya ungkapkan dalam penuturan tentang naga ini. Selebihnya masih butuh waktu dan pemikiran yang lama untuk bisa menemukan titik – titik terang lainnya. Membahas tentang hal ini secara gamblang adalah hal yang tersulit karena banyakan saya kurang memperhatikannya dan hanya membiarkan inti perasaan saya saja yang memahaminya dalam bentuk abstrak. Karena saya pikir orang – orang tak perlu tahu kenapa kitab pustaka ini memiliki karakter naga sebagai tokoh ceritanya. Tapi untuk kali ini saya membiarkan kejujuran itu menang dan membuatku kesulitan dalam menerangkan semuanya. Mungkin hanya itulah yang bisa saya sampaikan. 

Minggu, 17 Juli 2016

Mengenai arti simbol yang menjadi lencana kitab pustaka ini.

Awalnya tak pernah terpikirkan oleh saya membuat sebuah simbol lencana untuk kitab pustaka ini. Awalnya juga kitab pustaka ini sebelum disempurnakan menjadi seperti saat ini hanya memiliki sebuah logo dengan desain art yang berbau hiburan dan komersial. Namun semua itu pun berubah dan saya sepakat untuk menggunakan simbol berdesain religi sebagai lencana pengenal kitab pustaka ini. Ada tiga buah simbol lencana yang berbeda secara metamorfosis untuk kitab pertama, kedua, dan ketiga. Berbeda secara metamorfosis artinya jika ketiga lencana ini secara kolektif melambangkan serial dari trilogi kitab pustaka ini secara bertahap. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai simbol lencana untuk buku pertama kitab pustaka ini : (lihat gambar di atas)
Ada tiga lapis bangun segi dua puluh simetris dan konsentris seperti yang ditemukan pada bentuk  denah Candi Borobudur. Yah, desain simbol ini memang terinspirasi dari bentuk denah Candi Borobudur. Dari tiga lapis bangun segi dua puluh itu, lapisan terluar dinyatakan permanen dan akan kembali digunakan untuk desain simbol buku kedua dan ketiga. Lapisan terluar bangun segi dua puluh itu secara simbolik melambangkan kerajaan Aryanaga beserta isinya seperti yang diceritakan dalam buku. Oleh sebab itulah lapis terluar itu tidak akan berubah untuk desain simbol kedua dan ketiga.
Tiga lapis bangun segi dua puluh itu secara kolektif melambangkan sujud kepada tiga permata, yaitu: Buddha; Dharma; dan Sangha, sesuai hukum Buddhis yang ortodoks. Bangun segi delapan yang mengelilingi sebuah aksara kuno yaitu aksara Sanskerta Nagari bercorak Jawa kuno, melambangkan jika ajaran Buddha suci sudah berhasil memasuki kerajaan Aryanaga dan mulai berasimilasi seperti yang dibabarkan dalam cerita. Aksara kuno yang di tengah adalah aksara Sanskerta Nagari berbunyi “A” yang secara simbolik berarti awal. Ini bisa juga disamakan dengan konsep alfa dan omega dalam kontekstual orang barat. Aksara itu secara simbolik mewakili identitas dari kitab pustaka ini sebagai buku pertama dari serial triloginya.
Penggunaan simbol lencana ini menegaskan jika kitab pustaka ini terpisahkan dari bacaan biasa yang berbau hiburan semata. Saya sudah sepakat jika tidak perlu lagi mempermak aneka hiasan memikat sebagai tampilan luar untuk kitab pustaka ini, sebagaimana semua hiasan – hiasan itu sudah mempermak isi dalam kitab pustaka ini secara sempurna dan menyeluruh. Sebagaimana juga hiasan untuk mempermak tampilan luar hanya sekadar buat mengelabui mata yang fana dan duniawi saja. Bagi saya, kitab pustaka ini sangat bernilai dan sudah setara dengan literatur religi Buddhisme sehingga mempersiapkannya dengan teramat sangat baik adalah kewajiban utama saya selama ini. Itulah akhir dari penjelasan saya tentang simbol lencana kitab pustaka ini.

Visi misi ditulisnya kitab pustaka Maharendra Aryanaga Rajanaga dan serial triloginya

Ini adalah sebuah hal yang teramat sangat rumit untuk dijelaskan. Yang bisa saya jelaskan hanya sekadar gambaran kasarnya saja. Kalau seandainya ayah saya baik – baik saja dan saya tidak pernah menulis kitab pustaka ini berikut serial triloginya nanti, saya mungkin akan berakhir sebagai orang biasa saja. Saya mungkin akan kuliah desain di luar negeri seperti Singapura usai tamat SMA dan berakhir dalam kenyamanan hidup seperti yang saat ini saya mau. Saya juga tak perlu lagi memiliki ketertarikan terhadap dunia Buddhisme dan menjadi seorang umat Buddha yang intelektual pada akhirnya. Tapi takdir hidup selalu punya rencana yang tak bisa saya tebak.
Saya percaya jika saya punya seabreg takdir hidup super aneh yang sudah menuntun saya seperti sekarang ini. Saking anehnya sampai saya pun harus rela menanggung deritanya seorang diri dan saya tidak ingin siapapun ikut menanggungnya, khususnya kedua orang tua saya. Saya tahu mungkin saya sudah banyak menyusahkan mereka dan hanya dengan menulis kitab pustaka inilah saya menaruh harapan agar saya bisa merubah takdir dalam hidup ini. Buddha dan Bodhisatwa mungkin juga tahu jika saya memang diharuskan untuk menulis kitab pustaka ini berikut serial triloginya seorang diri.
Saya adalah umat Buddha dan percaya dengan hukum karma perseorangan, jadi saya pun mencoba menebak karma saya di masa lampau. Namun saya masih tidak tahu di kehidupan saya pada masa lampau itu saya berurusan dengan masalah apa hingga harus menjadi seperti saat ini. Saat itulah seorang sahabat Buddhis sekaligus mentor spiritual saya pernah berkata jika saya memang ada berurusan dengan sebuah janji atau bahkan sumpah atas nama Buddha dan Buddhisme sejak masa lampau, sehingga ini pun mungkin bisa menjadi satu alasan kenapa saya dan kitab pustaka ini ada di dunia. Ia meminta agar saya tetap kuat dan tegar sampai waktunya nanti kitab pustaka ini terbeberkan hingga penjuru dunia, dan saya yang memahaminya pun setuju karena memang itulah yang firasat saya rasakan.
Melalui kitab pustaka ini, saya pun mengenal lebih jauh lagi tentang sisi saya yang begitu misterius. Kadang saya merasa jika saya ada di dunia ini karena harapan para Buddha dan Bodhisatwa yang ingin saya membuat sebuah kontribusi religius yang hebat atas nama para Buddha dan Buddhisme di dunia ini. Dan itu pun saya rasa sudah benar karena sebanyak apapun pertanyaan yang saya pertanyakan, tetaplah jawabannya mengarah pada hal tersebut. Oleh karena itulah saya pun harus kehilangan kesempatan saya menjalani semua kenyamanan hidup seperti yang saya mau selama ini.
Kuliah desain di Singapura sehabis tamat SMA, menjadi seorang desainer beken yang disukai banyak klien dan orang penting, punya banyak duit jadi bisa tinggal dan hidup di Singapura serta menikmati kenyamanan hidup super enak yang hedonis dan cuek terhadap spiritualitas, menjadi atheis dan agnosis seperti kebanyakan orang jaman sekarang. Semua itu pun akhirnya kandas juga setelah tragedi kecelakaan ayah saya. Saya sempat merasa agak sesal di hati, namun akhirnya itu tidak lagi menjadi sebuah masalah. Mungkin memang benar jika seluruh hidup dan mati saya sudah diserahkan sepenuhnya kepada para Buddha dan Bodhisatwa, dan saya pun bisa menyadarinya setelah menjadi umat Buddha yang sah.
Saya tidak menyalahkan siapapun dan apapun dalam hidup ini. Biarpun saya harus tetap bertahan hidup susah dalam banyak perjuangan, namun saya tetap percaya jika para Buddha dan Bodhisatwa selalu punya banyak sugesti untuk saya mengatasi berbagai masalah. Hanya saja kadang saya perlu mengendalikan api emosi saya yang cenderung meluap. Maklum karena elemen – elemen pokok untuk spirit energi saya adalah elemen api dan logam. Bagi saya, akan lebih sulit menjalani hidup tanpa mengenal Buddha dan Buddhisme jikalau takdir untuk menjadi umat Buddhis dan menulis kitab pustaka ini telah berbicara terhadap nasib saya.
Kitab pustaka ini adalah kontribusi seperti yang mungkin para Buddha dan Bodhisatwa harapkan dari saya, dan saya pun harus mengusahakan seperti bagaimana caranya agar kitab pustaka ini bisa dibeberkan hingga ke penjuru dunia, dan pastinya akan ada banyak umat manusia nantinya yang mau mempercayai Buddha dan Buddhisme melalui kitab pustaka ini. Saya pun pastinya akan melanglang buana ke banyak negara dan tempat tanpa kenal lelah, demi menjadi orang yang bertanggung jawab sepenuhnya atas kitab pustaka ini. Mungkin inilah visi misi kitab pustaka ini yang bisa saya terangkan semampu saya.

Awal mula ditulisnya kitab pustaka Maharendra Aryanaga Rajanaga

Kitab pustaka ini memiliki histori penulisan yang panjang dan sangat rumit. Awalnya kitab pustaka ini hanya ditulis dalam bentuk cerpen pada pertengahan tahun 2006. Saya masih duduk di bangku SMA satu saat itu dan tentu saja ceritanya masih sangat lugu dan tidak sempurna. Awal saya mulai menulisnya di komputer adalah saat akhir 2006 dan itu bertepatan dengan terjadinya sebuah tragedi hebat yang menimpa ayah saya. Saya dan keluarga saya pun harus hidup teramat sangat susah dan penuh derita ke depannya setelah itu. Namun niat saya untuk tetap giat menulis naskah awal dari kitab pustaka ini masih tetap kuat dan inisiatif.
Saat itu saya masih belum sepenuhnya seorang umat Buddhis yang intelektual dan masih sebagai seorang remaja bermental labil pasca tragedi. Oleh sebab itulah naskah awal dari kitab pustaka ini masih sangat netral dan belum bermuatan unsur religi apapun, hanya sebatas bacaan novel untuk hiburan semata. Yah, saya menulis naskah awalnya sebagai bentuk pelarian saya dari derita saya baik di rumah maupun di sekolah. Naskah awalnya pun selesai pada sekitar tahun 2008 mungkin, dan saat itu saya sudah duduk di bangku SMA dua. Setelah itu naskah ini pun saya tinggalkan begitu saja tanpa saya perbaiki kembali. Namun sewaktu – waktu saya masih membaca – baca naskah ini di kala saya butuh pelarian atau saat saya ingin membacanya.
Saya pun tamat bangku sekolah SMA pada pertengahan tahun 2010 dan pada masa itu saya malah kasmaran dengan segala hal yang berkaitan dengan budaya Tibet dan negaranya. Saat itulah menjadi awal bagi saya semakin mendekatkan jiwa saya kepada dunia Buddhisme. Saya mulai memiliki ketertarikan untuk membaca – baca literatur religi Buddhis dan berhasil mempelajari sejumlah mantera – mantera doa suci untuk bekal saya bersembahyang di kemudian hari sebagai umat Buddhis yang sudah disahkan. 
Naskah awal yang saya tulis dalam bentuk file komputer saat itu memiliki panjang cerita sekitar 200 halaman lebih dan itu benar – benar masih sangat mentah. Tidak ada pembagian bab – bab cerita dan strukturnya masih berantakan untuk bisa disebut sebagai naskah cerita. Demikian juga dengan isi ceritanya yang masih cukup berantakan tata dan gaya bahasanya. Namun semua itu pun berakhir juga saat memasuki awal 2011. Saat itulah saya pun membangkitkan inisiatif untuk merombak ulang struktur naskah ini menjadi lebih sempurna.
Tahun 2011 itulah menjadi tahun yang penuh dengan kepahitan perjuangan bagi saya menyempurnakan naskah ini. Saat itulah baru terbentuk sebuah versi prototipe awal dari kitab pustaka ini, yaitu telah dibuat pemisahan bab – bab cerita dan mungkin hanya sekitar 18 atau lebih jumlah bab yang terbentuk saat itu. Unsur religi Buddhisme pun mulai berasimilasi ke dalam karya tulis ini dan butuh waktu yang cukup lama untuk menyempurnakannya hingga usai. Naskah prototipe kitab pustaka ini pun usai di awal tahun 2012.
Proses perombakan ulang kembali dimulai pada penghujung tahun 2012 dan saat itu naskah awal kitab pustaka ini pun terus mengalami penyempurnaan setahap demi setahap. Puncak dari penyempurnaan besar - besaran naskah ini menjadi kitab pustaka adalah pada sekitar Agustus 2014 lalu. Saat itu saya sudah disahkan sebagai umat Buddhis dan kitab pustaka ini pun masih tetap menjalani tahap penyempurnaan kecil – kecilan hingga saat ini. Proses penambahan bab hingga genap 28 bab selesai pada tahun 2016 sekarang ini.
Mungkin hanya itulah yang bisa saya jelaskan mengenai latar belakang terciptanya kitab pustaka ini secara singkat, padat, dan menyeluruh.

Rincian singkat mengenai tokoh – tokoh penting di dalam kitab pustaka ini

Berikut ini adalah para tokoh – tokoh penting yang ada di dalam kitab pustaka:
1.      Ananda sebagai tokoh protagonis pokok dari awal hingga akhir cerita.
2.      Egan Liu adalah abang angkat dari Ananda yang telah mengikat sumpah tali persaudaraan sehidup semati dengan Ananda sejak masih anak – anak. Egan Liu adalah seorang Tionghoa.
3.      Ketiga raja agung kerajaan Aryanaga masing – masing bernama: Rajanaga sebagai sosok raja diraja tunggal, dengan Mahanaga dan Candranaga sebagai raja setingkat dibawah dari kedudukan raja diraja. Dua raja lainnya tidak ada di dalam buku pertama ini, namun akan ada di masing – masing buku kedua dan ketiga nanti.
4.      Nadera adalah raja keenam dari kerajaan Aryanaga yang berubah menjadi iblis jahat dan menjajah kerajaan Aryanaga, sebelum akhirnya ia berhasil dilenyapkan.
5.      Putu Arya adalah seorang penempa senjata mahadewa dari jaman Bali kuno sekaligus sebagai reinkarnasi Ananda di masa lampau.
6.      Sri Kumara adalah sesosok naga Tionghoa yang hidup di tanah Bali dan awal kisah dimulai bersama Putu Arya. Sri Kumara pada akhir cerita bergabung bersama kerajaan Aryanaga dan ia akhirnya dinobatkan sebagai jenderal agung kerajaan pasca pertempuran.
7.      Ibunya Ananda bernama Nyai Putri, sementara ayahnya bernama Romo Sutejo. Kakak perempuannya bernama Dinda Putri. Mereka adalah anggota keluarga dalam keluarga tempat Ananda hidup selama ia masih belum ditakdirkan untuk kerajaan Aryanaga.
Mungkin hanya itulah para tokoh – tokoh penting yang bisa saya terangkan secara singkat satu persatu. Tokoh figuran lainnya tidak lagi saya terangkan.

Mengenai angka untuk jumlah semua babnya dan penjelasan singkat spesifikasi tiap bab.

Angka 28 memiliki nilai yang sangat simbolik bagi saya sendiri dan dalam konsep Buddhisme. Sebagai seorang yang sudah mengabdikan diri kepada Buddhisme, saya mengetahui jika ada sebuah kitab Sutra Buddhis Mahayana yang memiliki jumlah bab bernilai 28. Kitab itu adalah kitab Sutra Keajaiban Dharma Bunga Teratai. Kitab suci agung itu telah banyak menginspirasi saya dalam proses penyempurnaan tahap akhir buku ini, dan jumlah bab – bab sebesar 28 bab saya percayai sebagai bentuk penghormatan saya terhadap kitab suci agung itu secara tidak sengaja. Ada seberkas benang halus yang mungkin menghubungkan buku ini dengan kitab suci itu secara esoterik.
Ke 28 bab dalam buku ini saya uraikan secara singkat sebagai berikut:
1.      Bab 1 : Purwaka tentang asal muasal munculnya kerajaan gaib para naga yang disebut kerajaan Aryanaga. Dalam bab ini juga ada diceritakan kisah tentang sosok seorang dewata yang ikut membangun kerajaan Aryanaga.
2.      Bab 2 : Cerita tentang raja keenam dari enam raja para naga kerajaan Aryanaga yang berubah menjadi iblis dan berhasil menaklukkan kerajaan Aryanaga.
3.      Bab 3 : Cerita tentang tokoh protagonis pokok bernama Ananda berhasil menemukan sebuah relik magis yang memenjarakan roh dari para raja kerajaan Aryanaga dan Ananda berhasil membebaskan roh para raja itu dari dalam relik magis.
4.      Bab 4 : Purwaka tentang raja keenam kerajaan Aryanaga yang bernama Nadera, dari awal hingga penakhtaannya dan pengkhianatannya terhadap kerajaan.
5.      Bab 5 : Purwaka tentang sosok Ananda dan seorang abang angkatnya bernama Egan Liu dari jasmani hingga batin. Cerita pertemuan antara Ananda dengan roh para raja kerajaan Aryanaga dalam mimpi, dan pertemuan antara Ananda dan Egan Liu di bagian akhir.
6.      Bab 6 : Cerita pertemuan antara Ananda dan Egan Liu di sebuah pantai, diikuti dengan peristiwa kebangkitan kembali raja keenam kerajaan Aryanaga dan kembalinya roh raja para naga ke tempat dimana jasad mereka tersimpan secara bersamaan.
7.      Bab 7 : Purwaka tentang tiga dari lima raja agung kerajaan Aryanaga dari lahir hingga berdirinya kerajaan Aryanaga, dengan Nadera ikut serta di dalamnya.
8.      Bab 8 : Purwaka tentang seorang pembuat senjata mahadewa di tanah Bali yang merupakan sosok reinkarnasi Ananda di masa lalu. Berikut cerita terciptanya sebuah pedang mahadewa yang kelak menjadi senjata untuk Ananda dalam pertempuran.
9.      Bab 9 : Kebangkitan kembali ketiga raja agung kerajaan Aryanaga dari kematian.
10.  Bab 10 : Tanda – tanda munculnya sosok Nadera yang menjadi iblis datang menghantui Ananda dan juga langkah awal yang menuntun Ananda untuk menghadapi takdirnya memasuki kerajaan Aryanaga.
11.  Bab 11 dan 12 : Purwaka tentang sesosok naga Tionghoa bernama Sri Kumara dan ceritanya bersama Putu Arya dari awal hingga akhir.
12.  Bab 13 : Cerita keberhasilan Nadera menciptakan sebuah pusaka sakti yang menjadi bala kekuatan mahadayanya untuk perang memperebutkan kerajaan Aryanaga.
13.  Bab 14 : Cerita tentang  perayaan hari raya Tionghoa oleh Ananda dan keluarganya. Bab ini memuat deskripsi tentang seni budaya orang Tionghoa secara melimpah dan intensif. Selain itu pada bab ini juga memuat sejumlah sugesti tentang adat istiadat dan tata cara dalam ritual religius Buddhisme. Rencana liburan ke Bali yang tersebutkan dalam bab ini menjadi awal bagi Ananda semakin mendekati takdirnya bertemu kerajaan Aryanaga.
14.  Bab 15, 16, 17 dan 18 : Takdir awal yang membawa Ananda semakin dekat dengan kerajaan Aryanaga dan perang memperebutkan kerajaan. Berikut cerita tentang aktivitas liburan antara keluarga Ananda dan Egan Liu selama di Bali.
15.  Bab 19 : Cerita tentang pengambilan senjata mahadewa untuk perang nanti dan peristiwa Egan Liu diculik oleh Nadera sebagai taruhan di perang nanti. Perang yang dimaksud akan diselenggarakan di sebuah kerajaan gaib kekuasaan Nadera yang bernama Nagapati Pitaloka Bhumi.
16.  Bab 20, 21, 22, 23, dan 24 : Cerita panjang dari persiapan menuju medan perang hingga perang di dalam Nagapati Pitaloka Bhumi. Perang dimenangkan oleh pihak Ananda beserta seluruh kerajaan Aryanaga, sementara Nadera dengan iblis di pihaknya berhasil dilenyapkan.
17.  Bab 25 : Cerita kenaikan tahta Ananda sebagai raja keenam kerajaan Aryanaga dan menggantikan Nadera untuk selamanya. Pada bab ini memuat banyak kutipan – kutipan berbau instruksi dan sugesti religi yang disadur dari kitab Sutra Buddhis dan literatur Buddhisme. Pada bab ini juga saya menjadikannya sebagai penghormatan eksklusif untuk kitab Sutra Keajaiban Dharma Bunga Teratai, khususnya untuk bab ke 25 kitab sutra.
18.  Bab 26 : Pesta kemenangan menyambut kemerdekaan kembali kerajaan Aryanaga.
19.  Bab 27 : Cerita kembalinya Ananda bersama Egan Liu kepada keluarganya. Ananda diberi kesempatan untuk berpamitan dengan keluarganya selama beberapa hari, dan pada bab inilah memuat tulisan terbaik saya dalam hal kasih sayang abadi antara ibu dan anak.
20.  Bab 28 : Cerita penyelenggaraan upacara mengantar kepergian Ananda untuk selamanya dari keluarganya. Pada bab ini seni kebudayaan berbau corak klasik khas kerajaan Hindu Buddha dari jaman Jawa kuno dibeberkan secara intensif dalam deskripsi. Selain itu juga memuat sugesti religi tentang sebuah Sutra Buddhis yang sangat terkenal di seluruh dunia dalam prosesi ritual.
21.  Kata – kata sambutan oleh saya sebagai penulis dan halaman tambahan untuk memuat semua kosakata berbahasa Sanskerta dan rupa – rupa yang disebutkan dalam cerita.