Naga adalah salah satu dari kumpulan makhluk mitologi yang berasal dari
daratan di seluruh benua di bumi ini, mulai dari timur hingga barat. Ada naga
dari dunia orang barat yang digambarkan sebagai monster haus darah yang jahat
dan sering menjadi sasaran perburuan para ksatria mitologi. Naga Tionghoa
dikenal sebagai makhluk mitologi yang bernilai sakral dan superstisius,
terbedakan dari naga orang barat. Naga Tionghoa juga menjadi salah satu dari 12
simbol zodiak atau Shio dalam sistem horoskop dan astrologi orang Tionghoa.
Naga Tionghoa jika berwujud dewata seringkali dimunculkan sebagai sosok
rajanaga penguasa samudera dalam kepercayaan orang Tionghoa. Dalam kontekstual
Buddhisme, naga sendiri adalah makhluk supernatural mirip ular yang seringkali
ditampilkan dalam kitab – kitab Sutra Buddha sebagai hadirin dalam khotbah
ajaran yang diselenggarakan oleh sang Buddha. Sosok naga dan juga rajanaga
untuk kontekstual Buddhisme berbeda dengan kontekstual kepercayaan orang
Tionghoa, sebagaimana para rajanaga berasal dari tempat dimana sang Buddha dan Buddhisme
pertama kalinya muncul ke dunia, yaitu India.
Berbicara soal naga, khususnya naga Tionghoa adalah sebuah hal yang sangat
sensitif dalam kehidupan saya. Bagi saya, naga Tionghoa memiliki banyak kesan
yang intim dalam kehidupan pribadi saya. Saya tentunya tidak bershio naga hanya
untuk menulis kitab pustaka ini dan mengupas habis – habisan soal imajinasi
saya tentang naga Tionghoa dan naga lainnya dari Bali. Saya hanya bershio
kambing dan tentunya kambing sangat sederhana sekaligus tak ada apa – apanya
dibandingkan shio lainnya. Namun saya seringkali gemar membayangkan diri saya
sebagai naga Tionghoa dengan segala ekspresinya yang keren dan berkilauan.
Itulah yang menjadi sebuah gagasan terciptanya kitab pustaka ini. Saya juga menulis
buku – buku novel lainnya yang menjadikan naga Tionghoa sebagai fitur khas
dalam alur ceritanya.
Namun kitab pustaka inilah yang merupakan karya terbesar saya di atas dari
semuanya. Saya menggunakan karakter naga sebagai model personifikasi para
pelaku dalam kitab pustaka ini. Alasan yang jelas dan berkata – kata tidak bisa
saya ungkapkan karena sebenarnya ide ini datang dengan cara yang abstrak dan
tak terungkapkan. Saya berusaha untuk tidak sekalipun mengaitkan hal ini dengan
peristiwa – peristiwa gelap yang pernah terjadi dalam keluarga saya, yang mana
itu berhubungan dengan naga. Namun satu hal yang mungkin bisa saya ungkapkan
adalah jika naga itu memiliki simbol supremasi yang sangat besar, baik itu yang
bernilai positif atau negatif. Jika saya bisa mengangkat hanya untuk sisi
positifnya saja, maka saya bisa menggunakannya sebagai roda untuk memutar
ajaran Dharma yang pernah saya dalami dalam bentuk cerita – cerita sastra.
Hal itu juga berlaku dalam kehidupan manusia khususnya orang Tionghoa di
manapun itu, yang mana orang – orang yang bershio naga cenderung dinilai dan
dianggap memiliki potensi lahir batin yang lebih unggul dari orang bershio
lainnya. Mereka yang bershio naga juga cenderung lebih dominan dalam banyak hal,
khususnya yang sudah dibekali dengan nasib baik sejak lahir. Orang bershio
kambing seperti saya tidaklah notabene, meskipun mereka mungkin jauh lebih
berpotensi. Namun itu bukanlah sebuah hal yang menggusarkan, karena itu
hanyalah superstisi kaum Tionghoa seperti saya. Saya percaya dengan diri saya
dan tak pernah meragukan kekuatan batiniah saya yang mungkin tampak membodohi
orang - orang.
Ini mungkin terdengar agak konyol, namun ini juga adalah sebuah kejujuran
yang harus saya beberkan. Saya memang memiliki kekaguman yang besar terhadap
orang – orang bershio naga di sekitar saya, khususnya sejak masa sekolah dulu.
Tapi sayangnya saya selalu menemukan orang – orang itu banyakan tidak seperti
yang diyakini dalam superstisi nan kolot. Banyakan dari mereka bahkan lebih
susah dan menderita hidupnya dari saya. Banyakan juga bukan orang yang baik –
baik alias orang yang jahat. Namun saya juga melihat bagaimana ketegaran mereka
dalam menghadapi hidup. Mungkin ungkapan tentang sesuatu yang besar pasti
didampingi dengan resiko yang besar itu memang benar. Bukankah simbol naga
merupakan simbol yang terbesar dan paling diperhitungkan dalam superstisi orang
Tionghoa?
Sebenarnya hanya itulah yang bisa saya ungkapkan dalam penuturan tentang
naga ini. Selebihnya masih butuh waktu dan pemikiran yang lama untuk bisa
menemukan titik – titik terang lainnya. Membahas tentang hal ini secara gamblang
adalah hal yang tersulit karena banyakan saya kurang memperhatikannya dan hanya
membiarkan inti perasaan saya saja yang memahaminya dalam bentuk abstrak.
Karena saya pikir orang – orang tak perlu tahu kenapa kitab pustaka ini
memiliki karakter naga sebagai tokoh ceritanya. Tapi untuk kali ini saya
membiarkan kejujuran itu menang dan membuatku kesulitan dalam menerangkan
semuanya. Mungkin hanya itulah yang bisa saya sampaikan.